Hukum alam ini sebetulnya dimotivasi oleh kasih dan harmoni. Bila kita menggunakan kekuatan dan kontrol terhadap orang lain kita akan membuang banyak energy. Bila kita mencari uang untuk kepentingan diri, egoisme kita, kita akan banyak menguras energi. Tetapi bila tindakan kita berdasarkan kasih tidak akan banyak menguras energi. Bila cinta menjadi motivasi perbuatan kita akan terjadi energi yang berlipat ganda, disana juga akan ada sukacita. Don Juan berkata: "Bila kita rela kehilangan sesuatu yang penting, dua hal akan terjadi: pertama kita tidak kehilangan energi untuk hal yang tidak real, kedua kita bisa mengatur energi kita untuk menikmati kehebatan alam semesta". Hukum persembahan diri adalah hukum natural. Prinsip hidup yang mengikuti intuisi yang bersumber dari Roh Allah sendiri. Di dalamnya ada tiga hal yaitu: menerima (Acceptance), tanggungjawab (responsible) dan pasrah (tidak ada self-defend). Menerima artinya ada komitment: "Hari ini saya akan menerima setiap orang, situasi, peristiwa dan apa saja menurut apa adanya!" Ini berarti setiap situasi kubiarkan menjadi apa adanya menurut hukum alam. Tanggungjawab artinya, saya tidak akan menyalahkan orang lain, atau situasi bahkan diriku sendiri. Saya menyadari bahwa setiap masalah mengandung pemecahannya sendiri, saya akan mempersilahkan terjadinya transformasi ke situasi yang lebih baik. Tidak ada self-defend: bila saya bersikap defensive berarti saya menyalahkan orang lain, tidak menerima situasi apa adanya, tidak pasrah. Di sana akan terjadi penolakan bukan fleksibelitas. Bila saya terbuka dan menerima apa adanya maka saya akan mengalami kehadiran orang itu, atau peristiwa atau masalah itu secara penuh. Ada sebuah pepatah: "Masa lalu adalah sejarah, masa depan adalah misteri dan masa kini adalah rahmat! Oleh karena itu masa kini disebut "present" = hadiah!" Pater Dehon menghayati hukum persembahan diri dengan cara berdevosi kepada Hati kudus Yesus; fokusnya ialah “interior life”- “dimensi ke dalaman hidup”. Berdevosi kepada Hati Kudus Yesus berarti: adorasi (penyembahan), love (kasih), immolation (pengorbanan), dan prayer (doa). Jiwa yang dipersembahkan kepada Hati Kudus Yesus adalah hati seorang mempelai wanita kepada suaminya: tidak hanya romantis-sentimentalis (rasa), tetapi sepenuh hati, kokoh dan jernih; memiliki kehendak yang kuat untuk mencintai, berkorban dan sekaligus rendah hati untuk mengabdi. Persembahan diri bukan bernuansa sentimentil tetapi komitment. Membuka hati kepada kasih Allah adalah langkah awal persembahan diri. Allah telah mengasihi kita secara tuntas dan total. Dalam doa dan penyembahan kita membiarkan diri dikasihi, dan dicurahi Roh Kudus sehingga “dari dalam hati kita mengalir aliran-aliran air hidup! (Yohanes 7:38). Kuasa inilah yang memungkinkan kita mampu mencintai sesama dengan tulus, mendalam dan total. Pengalaman akan kasih Allah pula yang memungkinkan kita untuk rela berkorban dan setiap saat siap untuk melaksanakan kehendak Tuhan seperti Yesus sendiri: "korban bakaran dan korban penghapus dosa Engkau tidak berkenan. Lalu Aku berkata: Sungguh, Aku datang….untuk melakukan kehendakMu, ya AllahKu!” (Ibrani 10:6-7). Untuk lebih memahami apa itu “hidup dalam Roh” baiklah kalau kita belajar dari seorang pemuda kaya dalam (Matius 19:16-26). Dengan tokoh orang muda kaya, Tuhan Yesus memberi contoh “bagaimana orang yang tidak berani ambil keputusan untuk hidup dengan iman murni, iman yang mendalam, yaitu hidup dalam Roh Allah!” Kita melihat level iman orang muda itu: Ayat 16-17: Pengantar cerita. Ayat 18-20: iman konvensional. Ayat 21-22: iman radikal. Ayat 23-25: Imam impossible. Ayat 26: Iman itu anugerah. Iman konvensional ialah hidup kekal diperoleh dengan jasanya sendiri yaitu dengan cara melaksanakan hukum keagamaan. Level ini perlu tetapi bisa membawa orang pada sikap sombong. Kalau seseorang memutuskan untuk hidup pada level ini, ia akan menuai buahnya sebagai manusia formalitas dan legalis. Semua kehidupan dinilai dari kacamata “hukum atau aturan”. Iman radikal ialah berani menjual semua yang dimiliki dan memberikannya kepada orang miskin. Orang ini sudah rela berkorban. Fokusnya bukan dirinya tetapi orang lain. Ia hidup dalam “kebebasan” sejati – tidak lagi terikat oleh hal-hal duniawi. Pengalaman “lepas bebas” ini akan mendorongnya untuk mempersembahkan diri seutuhnya kepada penyelenggaraan Ilahi. Iman seperti ini mampu menghantar seseorang pada keyakinan bahwa Allah pasti menjamin hidupnya walaupun masih bisa goyah bila diterpa masalah besar. Namun bila ia bertahan dalam persembahan diri, ia akan menikmati “indahnya hidup rohani”, inilah yang memungkinkan seseorang hidup dalam Roh. Kehidupan seperti ini tidak akan tergoyahkan oleh situasi apapun. Dalam Matius 5:1-10 diungkapkan misteri yang begitu indah bagi orang yang “memilih hidup dalam Roh!” Keputusan itu mengandung konskwensi praktis yaitu melepaskan diri dari pikiran, perasaan dan imaginasi atau semua perbuatan atau milik kekayaan kita dan berfokus pada Roh Kudus. Orang ini memasuki “jati diri” – atau masuk dalam potensi murni. Orang ini benar-benar memiliki Kerajaan Allah. Kita berada dalam KerajaanNya dan Semua kekayaan kerajaanNya adalah milik kita. Kita lihat St Fransiskus Asisi orang yang meninggalkan semua kekayaannya, buahnya ia bersahabat dengan bulan, matahari dan bumi. Binatang-binatangpun menjadi ramah dengannya. Sesama manuisia pun mencintainya. Seolah dalam hatinya ada lautan yang mampu menampung alam semesta ini. “Semua ada dalam dirinya dan dirinya ada dalam semuanya!”
Baca Matius 19:16-26
Retret Guru dan Karyawan Yayasan Pendidikan Charitas Rumah Retret Giri Nugraha Jl.Kol.H.Burlian Km.7 Palembang. Telp. 0711 410 729 ; Fax. 0711 421 877 Oleh : Romo Haryoto SCJ Romo Wahyu Tri Haryadi SCJ |